Bencana, tanpa ragu, membawa dampak merugikan bagi manusia, baik dari segi materi maupun yang tak terlihat. Namun, tingkat kerusakan dan kesan bencana dapat meningkat secara nyata jika manusia tidak mampu meresponnya dengan bijak. Sebab, makna yang diberikan pada setiap peristiwa bencana – dalam wujud pandangan, pemahaman, dan sikap – memiliki peran penting dalam menentukan arah langkah dan keadaan manusia pasca-bencana.
Dalam ajaran Islam, sebagai panduan hidup yang komprehensif, terdapat pedoman khusus untuk memaknai serta meraih hikmah dari setiap kejadian yang menimpa manusia, termasuk bencana. Islam menawarkan serangkaian nilai dan sikap praktis yang dapat dijadikan landasan bagi manusia dalam memaknai, merespons, dan menghadapi bencana dengan bijak.
Bencana sebagai Takdir Allah
Dalam ajaran Islam, setiap peristiwa termasuk bencana dianggap sebagai bagian dari takdir Allah SWT. Al-Quran surat Al-Hadid (57:22) mengingatkan kita bahwa tidak ada yang terjadi di muka bumi ini kecuali dengan izin Allah.
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ
“Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.”
Hal ini menunjukkan bahwa bencana tidak terjadi secara kebetulan atau tanpa tujuan, melainkan sebagai bagian dari rencana Ilahi yang lebih besar.
Bahkan dalam hadits, Nabi Muhammad SAW memberikan pemahaman yang dalam tentang kejadian-kejadian tak terduga ini. Beliau bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapat kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Dari sini, kita dapat memahami bahwa dalam pandangan Islam, bencana bukanlah bentuk hukuman semata, tetapi juga sebagai ujian dan cobaan bagi umat manusia.
Bencana sebagai Ujian dan Cobaan
Bencana sering kali menjadi ujian keimanan bagi umat manusia. Al-Quran surat Al-Baqarah (2:155-156) menyatakan,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ⧫ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.”
Dalam konteks ini, bencana dianggap sebagai sarana untuk menguji kesabaran, ketabahan, dan keteguhan hati umat manusia. Bagi mereka yang mampu menjalani cobaan ini dengan sabar dan tetap bertawakal kepada Allah, mereka akan mendapatkan keberkahan dan pahala yang besar.
Nabi Muhammad SAW juga memberikan contoh teladan dalam menghadapi cobaan ini. Beliau bersabda,
“Tidak seorang pun yang tertimpa kesusahan atau kesedihan lalu ia mengucapkan, ‘Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahumma ajirni fi musibati wakhluf li khairan minha’ (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. Ya Allah, berikanlah aku pahala dalam musibahku ini dan berikanlah aku ganti yang lebih baik darinya), kecuali Allah akan memberinya ganti yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim)
Bencana sebagai Pengingat akan Keterbatasan Manusia
Setiap kali bencana melanda, manusia diingatkan akan keterbatasan dan kelemahannya. Terlepas dari seberapa besar kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia tetaplah makhluk yang rentan dan terbatas.
Al-Quran surat Al-An’am (6:17-18) menyatakan,
وَاِنْ يَّمْسَسْكَ اللّٰهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهٗٓ اِلَّا هُوَ ۗوَاِنْ يَّمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ⧫ وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهٖۗ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ
“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tak ada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia, dan jika Dia menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnianya. Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pandangan ini mengajarkan manusia untuk tidak sombong atau terlalu bergantung pada kemampuan dirinya sendiri. Sebaliknya, manusia diajak untuk selalu merendahkan diri di hadapan Allah dan mengakui bahwa segala sesuatu berada dalam kendali-Nya.
Dengan memahami bahwa bencana adalah bagian dari takdir Allah, ujian dan cobaan bagi umat manusia, serta pengingat akan keterbatasan manusia, umat Islam diajarkan untuk merespon bencana dengan sikap yang baik dan positif. Dengan bersabar, bersyukur, dan tetap bertawakal kepada Allah, seorang muslim diharapkan dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap cobaan yang dihadapi. Semoga dengan pemahaman ini, umat manusia dapat menjadi lebih kuat, bijaksana, dan penuh rasa syukur dalam menghadapi setiap bencana yang datang.
Penulis: M. Najib Faizin. Editor: Muhlason, Lc.